Warga negara indonesia sudah sangat akrab dengan kegiatan bajak-membajak. Mungkin karena kita negara agraris? (ehe)
Kegiatan bajak-membajak yang saya maksud tentang hak cipta — hak kekayaan intelektual seseorang yang kita “ambil” secara haram.
Properti dari hak cipta bisa berupa musik, video, tulisan, gim, desain dan karya atau buah pikiran dari seseorang yang diatur oleh undang-undang (nah loh).
Dari saya sekolah dasar sampai saya kuliah saya menjadi pelaku kegiatan ini. Awalnya download musik dari stafaband terus lanjut ke bagas31 sampai akhirnya copy-paste dari wikipedia tanpa atribusi referensi asli.
Saat SMK saya belajar membuat rangkaian sirkuit elektronik yang nantinya akan dicetak pada PCB menggunakan perangkat lunak bernama Eagle. Perangkat lunak ini tersedia dengan edisi gratisan, namun di edisi gratisan ada beberapa keterbatasan penggunaan. Guru saya pun memberikan tips dan trik agar terhindar dari keterbatasan versi gratisan, dengan cara crack perangkat lunak tersebut demi mendapat full version.
Tidak hanya dengan Eagle, ada juga software ISIS Proteus. Sebuah software yang bisa mesimulasikan rangkaian elektronika. Kami (satu kelas, satu angkatan, satu jurusan) saling berbagi dosa yang sama.
Masih soal ketidaksadaran saya akan hak cipta, hak kekayaan intelektual dan lisensi saat SMK, saya menerima jasa install ulang laptop. Biaya dari 10.000 rupiah hingga 15.000 rupiah saya dapat sekali install ulang laptop teman. Bisa kalian tebak bagaimana saya melakukannya, saya jadi makin akrab dengan crack, “patch”, software-software semacam KMSnano.
Hal yang sama saya lakukan juga pada gim di komputer.
Lanjut saat kuliah, semua masih sama. Ada “tugas besar” dari dosen, semacam tugas yang diberikan saya saat SMK dengan Eagle tapi menggunakan Protel (sekarang namanya Altium Designer). Dosen tersebut tentu tahu kalau itu bukan barang gratisan, saya ingat seruannya saat membahas tugas ini yang kurang lebih seperti ini “Tinggal cari yang gratisan di internet kan banyak, cari yang crack-crackan itu kan ada”.
Singkat cerita tugas selesai dan saya membuat tutorial terkait software itu di blog ini.
Beberapa semester berlalu, saya mulai tertarik kembali menggunakan Linux di laptop saya.
Ya, kembali menggunakan linux. Pertama kali menggunakan Linux saat saya kelas dua SMP dengan sistem operasi Ubuntu yang baru saja mengeluarkan versi LTS-nya saat itu. Alasannya performa, notebook tua pertama saya saat itu sudah cukup ngos-ngosan untuk berjalan di windows 7, sering mati sendiri karena kepanasan.
Alasan berhenti menggunakan Ubuntu saat itu karena saat kelas dua SMK saya mendapat laptop baru yang sudah ter-install Windows di dalamnya.
Lanjut saat kuliah. Alasan kembali tertarik saat itu menggunakan kembali Linux karena ingin mencoba sebuah Distribusi Linux baru, namanya Solus. Saya suka konsepnya yang rolling-release walaupun bukan hal yang baru di dunia per-linux-an. Mungkin alasan kuat saya lainnya saat itu karena itu sistem operasi yang benar-benar baru — masih muda umurnya. Walau akhirnya sistem operasi harian saya saat ini kembali ke Ubuntu.
Dengan menggunakan Linux, saya mulai mencari grup-grup/komunitas Linux di dunia maya untuk sekadar jaga-jaga kalau-kalau saya tidak menemukan solusi troubleshooting di Google.
Saya tidak hanya bergabung dengan komunitas linux, grup-grup/komunitas yang masih ada kaitan dengan dunia per-linux-an juga ikut saya susup.
Disinilah kesadaran saya akan lisensi dan segala hal yang menyertainya saya dapat. Mungkin tidak semua, tapi banyak anggota komunitas linux yang perhatian dengan isu hak cipta.
Di grup komunitas Gimpscape misalnya. Sebuah komunitas yang penggunannya menggunakan free open source software (FOSS) untuk membuat/mengolah/memanipulasi gambar. Anggota dan admin di sana sering membahas isu-isu terkait lisensi karya.
Karena pada dasarnya menurut saya Linux, lingkungan Linux, komunitas linux dibangun dengan itu, kesadaran akan hak cipta orang lain. Linux itu gratis, tapi tetap ia mempunyai lisensi yang mengatur segala penggunaan dari propertinya.
Barang yang Open-Source atau yang gratis pun masih punya lisensi yang mengatur penggunaan sumber itu sendiri. Dan ada hukum yang menaungi barang itu walaupun gratis.
Font misalnya, ada font gratis yang kamu download di internet. Font itu menjadi favorit kamu gunakan sehari-hari untuk menulis tugas atau catatan lainnya.
Suatu ketika teman kamu meminta kamu membuatkan desain logo untuk usaha kecilnya lalu kamu menggunakan font favorit kamu untuk menjadi bagian dari logo yang kamu buat.
Di kemudian hari kamu mendapat email dari teman kamu yang punya bisnis kafe yang meneruskan sebuah email dari orang lain terkait tuntutan hukum dengan denda materil 500 dollar karena dianggap menggunakan font itu untuk merepresentasikan kegiatan komersil kafe teman kamu.
Kamu pun bingung karena mau membayar denda sebanyak itu pakai apa sedangkan teman kamu yang punya kafe hanya membayar dengan 2M (Makasih Mas).
Kasus di atas banyak terjadi di kehidupan nyata.
Mungkin karena kita mendapat font yang tidak ada harganya, kita menganggap itu benar-benar milik kita, font yang bebas kita gunakan untuk apapun, padahal tidak. Barang berbayar pun, walau kita sudah bayar untuk mendapatkan barang tersebut kita harus tetap memerhatikan batasan-batasan penggunaannya.
Karena tidak peka-nya kita dengan hak cipta orang lain kita terbiasa melakukan kegiatan yang memang jelas melanggar hukum semacam ini.
Kita terbiasa download lagu gratis dari stafaband, kita terbiasa googling untuk mencari software dengan kata kunci “download software + crack”, kita terbiasa dengan copy/paste artikel di internet untuk dimasukan kedalam tugas makalah tanpa atribusi asli.
Saya rasa kebiasaan pembajakan ini terbawa sejak kita masih sekolah, lalu diamini oleh guru-guru kita atau bahkan dosen. Mereka juga mungkin tau kalau itu tindakan yang salah dan melanggar hukum, tapi harus tetap dilanjutkan agar sesuai dengan silabus yang sudah mereka buat atau agar sesuai dengan dunia kerja yang memang mayoritas menggunakan software atau properti-properti yang mempunyai lisensi berbayar.
Atau entahlah…
Pelajaran cara mengutip isi buku yang benar dan membuat daftar pustaka sudah kita dapat saat menjadi siswa.
Menjadi mahasiswa kita lebih peka dengan hal-hal terkait hak cipta. Tugas-tugas yang kita kerjakan selalu diharapkan bebas unsur plagiarisme oleh dosen.
Tapi hal yang sama masih berlanjut.
Saat menjadi siswa saya belajar crack Eagle dan ISIS Proteus.
Saat menjadi mahasiswa saya belajar crack Altium Designer dan Matlab.
Sekian tulisan ini saya buat semoga ada manfaatnya. Saya mau lanjutin download-an di fitgirl dulu.